KEKERASAN YANG TERJADI PADA MUSLIM ROHIGYA DI MYAMMAR DI TINJAU DARI SISI AKIDAH

NAMA : MUHAMMAD MA'RUF



KEKERASAN YANG TERJADI PADA MUSLIM ROHIGYA DI MYAMMAR DI TINJAU DARI SISI AKIDAH

1.      KEKERASAN

Pada ulasan di atas telah dapat kita lihat bersama bahwa sebuah konflik dapat muncul apabila disertai dengan luapan perasaan tidak suka, benci, dan lain sebagainya, bahkan sampai disertai munculnya keinginan untuk menghancurkan atau menghabisi lawan atau pihak lain. Apabila keinginan tersebut diwujudkan dalam sebuah tindakan, maka saat itulah terjadi kekerasan. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan? Tindakan apa saja yang dapat dikatakan sebagai kekerasan?

A. Pengertian Kekerasan
Dalam masyarakat diusahakan agar konflik yang terjadi tidak berakhir dengan kekerasan. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu prasyarat, yaitu sebagai berikut.

a. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
b. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dapat dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
c. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu yang telah disepakati bersama. Aturan tersebut pada saatnya nanti akan menjamin keberlangsungan hidup kelompok-kelompok yang bertikai tersebut.

Apabila prasyarat di atas tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, maka besar kemungkinan konflik akan berubah menjadi kekerasan. Secara umum, kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sementara itu, secara sosiologis, kekerasan dapat terjadi di saat individu atau kelompok yang melakukan interaksi sosial mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial ini akan terjadi tindakan-tindakan tidak rasional yang akan menimbulkan kerugian di pihak lain, namun dapat menguntungkan diri sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Sedangkan kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang, oleh karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.


B. Bentuk-Bentuk Kekerasan
Dalam kehidupan nyata di masyarakat, kita dapat menjumpai berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain. Misalnya pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, pemukulan, fitnah, pemerkosaan, dan lain-lain. Dari berbagai bentuk kekerasan itu sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung. Tahukah kamu apakah kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung itu? Mari kita bahas bersama pada uraian berikut ini.

a. Kekerasan langsung (direct violent) 
adalah suatu Bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung terhadap pihakpihak yang ingin dicederai atau dilukai. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti melukai orang lain dengan sengaja, membunuh orang lain, menganiaya, dan memperkosa.

b. Kekerasan tidak langsung (indirect violent) 
adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain melalui sarana. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti mengekang, meniadakan atau mengurangi hak-hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan perbuatan-perbuatan lainnya. Misalnya terror bom yang dilakukan oleh para teroris untuk mengintimidasi pemerintah supaya lebih waspada akan bahaya yang dilakukan oleh pihak asing terhadap negara kita.
Sehubungan dengan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain, pada dasarnya di dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi (upaya bertahan), yaitu sebagai berikut.
a. Desakan untuk melawan yang telah terprogram secara filogenetik sewaktu kepentingan hayatinya terancam. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan hidup individu yang bersifat adaptif biologis dan hanya muncul apabila ada niat jahat. Misalnya si A melakukan pencurian karena adanya desakan kebutuhan ekonomi, seperti makan.

b. Agresi jahat melawan kekejaman, kekerasan, dan kedestruktifan ini merupakan ciri manusia, di mana agresi tidak terprogram secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif biologis, tidak memiliki tujuan, serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu belaka. Misalnya aksi kerusuhan yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu telah belajar mengenai konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Dapatkah kamu membedakan kedua hal tersebut?

2.       MUSLIM
pengertian Muslim Menurut Para Ahli Agama Islam, Muslim adalah secara harfiah berarti “seseorang yang berserah diri (kepada Allah)”, termasuk segala makhluk yang ada di langit dan bumi. Kata muslim kini merujuk kepada penganut agama Islam saja, kemudian pemeluk pria disebut dengan Muslimin dan pemeluk wanita disebut Muslimah adalah sebutan untuk wanita Islam.
Al Qur’an menjelaskan tentang semua nabi dan rasul adalah sebagai Muslim, dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Al Qur’an menyatakan bahwa mereka adalah Muslim karena mereka hanya berserah diri kepada Tuhan, memberikan firman, dan menegakkan agama Allah. Demikian pula dalam surah Al-Imran dalam Al-Qur’an,
“ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) berkata kepada Isa: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Al-Imran 3:52) ”
Umat Muslim meyakini bahwa Allah adalah zat kekal, yang memiliki semua sifat ke-Maha-an, tidak tertandingi, mandiri, tidak melahirkan, dan tidak pula diperanakkan, mereka meyakini doktrin atau aqidah ketauhidan (monoteisme).



3.   AKIDAH
A. Pengertian Akidah Akhlak
Menurut bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu [عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقْدً] artinya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah urusan-urusan yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh badai subhat (keragu-raguan). Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.  
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [خلق] jamaknya  [أخلاق] yang artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.

B. Dasar Akidah Akhlak
Dasar aqidah akhlak adalah ajaran Islam itu sendiri yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Al Qur’an dan Al Hadits adalah pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia. Dasar aqidah akhlak yang pertama dan utama adalah Al Qur’an dan. Ketika ditanya tentang aqidah akhlak Nabi Muhammad SAW, Siti Aisyah berkata.” Dasar aqidah akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al Qur’an.”
Islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut dikatakan dalam Al Qur’an. Karena Al Qur’an merupakan firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini oleh setiap muslim.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 15-16 disebutkan yang artinya “Sesungguhnya telah datang kepadamu rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahayadari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izinNya, dan menunjuki meraka ke jalan yang lurus.”
Dasar aqidah akhlak yang kedua bagi seorang muslim adalah AlHadits atau Sunnah Rasul. Untuk memahami Al Qur’an lebih terinci, umat Islam diperintahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena perilaku Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh setiap umat Islam (orang muslim).
C. Tujuan Akidah Akhlak
Orang yang mempelajari suatu ilmu, pasti mempunyai tujuan. Demikian juga halnya dengan orang yang mempelajari akidah Islam. Adapun tujuan mempelajari akidah Islam antara lain sebagai berikut ;

1. Agar mendapatkan tuntunan untuk mengembangkan dasar ketuhanan      yangtelah ada sejak lahir.
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Sejak dilahirkan manusia cenderung mengakui adanya Tuhan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “. Mereka menjawab : “ Betul (Engkau Tuhan kami),kami jadi saksi “. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “ Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang yanga lengah terhadap ini (keesaan Allah). Atau agar kamu tidak mengatakan : “ Sesungguhnya orang –orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engakau akan membinasakan kami karena perbuatan-perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”. (QS. Al- A’raf / 7 : 172 – 173).

Berdasarkan firman Allah tersebut, dapat dipahami bahwa tiap-tiap orang telah mengakui dan meyakini adanya dzat Allah, dan pengakauan serta keyakinan itu telah ada sejak lahir. Untuk mengembangkan dasar ketuhanan ini, Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada orang tua untuk selalu menjaga dan mendidiknya dengan baik, agar dasar ketuhanan yang telah ada dapat berkembang sesuai dengan fitrah Islam.
Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ. رواه البخاري
Artinya :
“Dari Abu Hurairah ra berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Setiap anak yang dilahirkan pasti dalam keadaan fitrah (beragama Islam), maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R. Bukhari)

2.         Untuk menghindarkan diri dari pengaruh kehidupan yang sesat atau jauh dari petunjuk hidup yang benar.
Dan sungguh, inilah jalanKu yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”.(QSAl- An’am /6 : 153)

3.         Membimbing manusia untuk berkeyakinan kepada Allah SWT. Tanpa petunjuk agama manusia bisa tidak sampai mengenal Tuhan dengan benar. 
Al-Quran itu sebagai petunjuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil)”.(QSAl- Baqarah /2 :185)

4.         Untuk menjaga manusia dari kemusyrikan
Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan dan tetap mengesakan Allah, diperlukan adanya tuntunan yang jelas tentang kepercayaan kepada Allah.

“ Dan Tuhanmu adalah Allah yang maha Esa tidak ada tuhan melainkan Dia, Yang maha Pemurah lagi maha Penyayang”.(QSAl- Baqarah /2 : 163)
      4.    Untuk lebih memupuk ketebalan iman dengan mencintai dan taat kepada Allah dan rasul-Nya.





4.      KEKERASAN YANG TERJADI PADA MUSLIM ROHIGYA DI TINJAU DARI SISI  AKIDAH
TAK berlebihan bila dikatakan bahwa Muslim Rohingya merupakan Palestina Jilid II untuk wilayah Asia Tenggara. Sebab, minoritas Rohingya yang bermukim di utara Arakan, tepatnya di negara bagian Rakhine, Myanmar, selalu mengalami penindasan dan diskriminasi. Bahkan, sudah ribuan kaum Muslim meninggal dunia akibat kebrutalan mayoritas Budha yang didukung junta militer Myanmar.
Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Myanmar meluncurkan operasi khusus melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan sehingga memicu eksodus kaum Rohingya ke Bangladesh. Junta militer Myanmar yang dikenal sebagai State Law and Order Restoration Council (SLORC) selalu berusaha memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah-belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi. (Humaidi, Derita Minoritas Muslim di Sejumlah Negara, 2012).
Pada tahun 2010 ketika Thein Sein berkuasa, pemerintah junta militer menuju transformasi demokrasi, dan menjadikan Myanmar sebagai negara yang dipimpin sipil. Sistem perpolitikan dan ekonomi semakin terbuka. Pembatasan pers pun semakin longgar. Hanya etnis Rohingya yang tidak merasakan perubahan dari keterbukaan Myanmar ini, mereka masih tetap terpinggirkan, miskin dan terlantar.
Setelah konflik yang terjadi antara muslim Rohingya dan Budha Rakine di Juni 2012 lalu, hingga sekarang, kehidupan muslim Rohingya dalam kondisi rusuh dan kritis. Mereka diteror, dianiaya, bahkan dibunuh oleh militer. Mereka dipaksa meninggalkan Myanmar, mengarungi lautan hanya menggunakan perahu kayu, dengan sedikit bekal, dan seringkali mesin perahu rusak sehingga mereka terombang-ambing di lautan yang ganas. Dan ratusan ribu orang mati tenggelam dalam perjalanan. (Ratu Erma R, hizbut-tahrir.or.id, 21/5/2015)
Kini diperkirakan 7.000-8.000 pengungsi Rohingya terombang-ambing di Laut Andaman dan Selat Malaka. Mereka kelaparan karena ditolak masuk ke Indonesia, Malaysia, dan Thailand.Sampai-sampai Badan pengungsi PBB (UNHCR) sebagaimana dilaporkanChannel News Asia, menyebut pemerintah negara-negara ASEAN tengah bermain-main dengan nyawa orang. (nasional.tempo.co, 15/5/2015).Tindakan tak bernurani pun ditunjukan pemerintah Indonesia, yakni dengan berupaya mencari cara memulangkan ratusan pengungsi Rohingya yang sudah terlanjur terdampar di Aceh, hal ini sebagaimana dinyatakan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi. (nasional.tempo.co, 19/5/2015).
Akibat Nasionalisme
Kondisi ditolaknya pengungsi muslim Rohingya oleh Malaysia dan Indonesia, serta upaya pemulangan kembali pengungsi tersebut, telah membuka wajahasli nasionalisme pada kita semua.Menurut Hans Kohn, Nasionalisme diartikan sebagai “keadaan pada individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk bangsa dan tanah air”. (Ismail Yusanto, 2007).
Karena itu akibat nasionalisme ini, egoisme sektoral dan teritorial menjadi sebuah kepentingan tertinggi diatas segala-galanya. Hanya karena pengungsi Rohingya bukan asli penduduk Malaysia dan Indonesia –padahal masih sama-sama muslim–, mereka ditolak dan dibiarkan terkatung-katung dilautan. Inilah buah nasionalisme yang diterapkan oleh sebuah negara bernama nation-state (negara bangsa), yang menjadikan kepentingan nasional di atas segalanya, bahkan diatas ukhuwah Islam, serta menghilangkan kepedulian terhadap umat, memecah-belah dan memperlemah umat.
Absurdsitas Nation State dan Nasionalisme
Perlu diketahui umat Islam, bahwa dari segi teori,nation-state (negara bangsa)dan nasionalisme memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
Pertama, sebagai dasar nation-state, nasionalisme merupakan ide yang paling lemah secara intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam Political Ideology Today (1993). Maknanya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir jernih dan rasional.
Sebab itulah, nasionalisme membutuhkan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional, peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga dll), rekayasa sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dll. (Adams, 2004: 143).
Kedua, pengertian nation (bangsa) –sebagai dasar konsep nation-state– tidakjelas. Konsep bangsa sebenarnya lebih sebagai mitos/imajinasi, bukan sebagai realitas faktual.Ini dapat dibuktikan jika kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu komunitas menjadi suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab, kesamaan etnis. Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau Mesir, kesamaan etnis mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang terdiri dari multietnis dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas jawaban kesamaan etnis tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu etnis, yaitu Melayu, tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa. Orang suku Papua, di satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang Indonesia lainnya yang berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin di Australia yang masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda. (Shiddiq Al-Jawi, 2014).
Mungkin akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa, tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah-belah menjadi banyak negara. Keruwetan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan). (Adams, 2004: 144).
Ketiga, nasionalisme adalah ide kosong yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana sebuah masyarakat diatur. Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu dan tempat, nasionalisme ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti liberalisme, konservatisme, berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang menjadi penyebab semua perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme memang tidak mengatakan apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata Ian Adams, “Ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).
Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.(Shiddiq Al-Jawi, 2014).
Adapun pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali nampak dalam ikatan pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS. Al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah saw. dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586).
Sejalan dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga menegaskan ketunggalan negara Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa pun suku dan bangsanya, hanya boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka, yaitu satu negara Khilafah saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah. Rasulullah saw. telah bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no. 1853).Terkait dengan ketunggalan Khilafah ini, Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/416).
Muslim Rohingya Butuh Khilafah
Sesungguhnnya berbagai problem umat Islam, termasuk penderitaan muslim Rohingya yang dibantai keji mayoritas Budha di Myanmar, tidak akan pernah selesai kecuali diselesaikan oleh umat Islam bersama dengan penguasa muslim yang menerapkan Islam dan mengumumkan jihad fi sabilillah untuk membantu saudara seimannya. Karena itu kalau kita mau jujur, menyerahkan masalah ini kepada lembaga internasional bentukan Barat, justru bukanlah solusi, malah ini bisa dikatakan pengkhianatan karena berlepas tangan dari urusan umat.
Sebagai contoh, masalah Palestina masih dalam koridor PBB sejak lima sampai enam puluh tahun lalu. Dan sampai sekarang masih jalan di tempat, bahkan semakin kompleks. Dan agresi Israel malah semakin menjadi-jadi.
Di sisi lain, tragedi muslim Rohingya telah menyingkap kedustaan dan kepalsuan propaganda Barat. Karena meski mereka menegaskan bahwa muslim Rohingya adalah kelompok yang menerima perlakukan terburuk di dunia, hanya saja mereka tidak menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan genosida yang dilakukan terhadap umat Islam.
Jadi, tidak ada solusi untuk tragedi ini kecuali dengan mengembalikan Khilafah ala Minhaj Nubuwah di muka bumi. Dengan Khalifah umat Islam, dia akan melindungi rakyatnya yang muslim maupun non muslim. Dia akan membela orang yang tertindas di dunia apapun bangsa dan agama mereka. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya): Seorang imam (khalifah) itu laksana perisai, rakyat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. (HR. Muslim, 3428).
Karena itu Khilafah merupakan kebutuhan mendesak, dan dunia butuh Khilafah agar bisa terlepas dari keburukan kapitalisme yang rakus dan kekerasan peradaban barat yang rusak. Lebih dari itu bahwa tegaknya Khilafah adalah kewajiban terpenting yang Allah wajibkan kepada umat Islam. Khilafah adalah mahkota kewajiban yang akan menjamin pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya. Khilafah adalah sumber kemuliaan, kesatuan dan kemuliaan umat.Bahkan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (w. 555 H), menyatakan bahwa keberadaan sebuah kekuasaan yang mampu menjaga umat Islam, sangatlah urgen: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.” (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 255-256).
Dalam konteks empat mazhab Ahlus Sunnah, Abdurrahman Al-Jaziri(w. 1360 H) menyebutkan: Para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang tertindas dari kejahatan orang zhalim.


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng