KEKERASAN YANG TERJADI PADA MUSLIM
ROHIGYA DI MYAMMAR DI TINJAU DARI SISI AKIDAH
1.
KEKERASAN
Pada ulasan
di atas telah dapat kita lihat bersama bahwa sebuah konflik dapat muncul
apabila disertai dengan luapan perasaan tidak suka, benci, dan lain sebagainya,
bahkan sampai disertai munculnya keinginan untuk menghancurkan atau menghabisi
lawan atau pihak lain. Apabila keinginan tersebut diwujudkan dalam sebuah
tindakan, maka saat itulah terjadi kekerasan. Apakah yang dimaksud dengan
kekerasan? Tindakan apa saja yang dapat dikatakan sebagai kekerasan?
A. Pengertian Kekerasan
Dalam
masyarakat diusahakan agar konflik yang terjadi tidak berakhir dengan
kekerasan. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu prasyarat, yaitu sebagai
berikut.
a. Setiap kelompok yang terlibat
dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
b. Pengendalian konflik-konflik
tersebut hanya mungkin dapat dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang
saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
c. Setiap kelompok yang terlibat
dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu yang telah disepakati
bersama. Aturan tersebut pada saatnya nanti akan menjamin keberlangsungan hidup
kelompok-kelompok yang bertikai tersebut.
Apabila
prasyarat di atas tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, maka
besar kemungkinan konflik akan berubah menjadi kekerasan. Secara umum,
kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang
yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang atau dapat menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. Sementara itu, secara sosiologis,
kekerasan dapat terjadi di saat individu atau kelompok yang melakukan interaksi
sosial mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat
dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial
ini akan terjadi tindakan-tindakan tidak rasional yang akan menimbulkan
kerugian di pihak lain, namun dapat menguntungkan diri sendiri.
Menurut
Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan sebagai penggunaan kekuatan
fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Sedangkan kekerasan sosial adalah
kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang, oleh karena orang dan
barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan
Dalam
kehidupan nyata di masyarakat, kita dapat menjumpai berbagai tindak kekerasan
yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat
yang lain. Misalnya pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, pemukulan, fitnah,
pemerkosaan, dan lain-lain. Dari berbagai bentuk kekerasan itu sebenarnya dapat
digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan langsung dan kekerasan tidak
langsung. Tahukah kamu apakah kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung
itu? Mari kita bahas bersama pada uraian berikut ini.
a. Kekerasan langsung (direct
violent)
adalah suatu
Bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung terhadap pihakpihak yang ingin
dicederai atau dilukai. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada
tindakan-tindakan, seperti melukai orang lain dengan sengaja, membunuh orang
lain, menganiaya, dan memperkosa.
b. Kekerasan tidak langsung
(indirect violent)
adalah suatu
bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain melalui sarana.
Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti mengekang,
meniadakan atau mengurangi hak-hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan
perbuatan-perbuatan lainnya. Misalnya terror bom yang dilakukan oleh para
teroris untuk mengintimidasi pemerintah supaya lebih waspada akan bahaya yang
dilakukan oleh pihak asing terhadap negara kita.
Sehubungan
dengan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu
terhadap anggota masyarakat yang lain, pada dasarnya di dalam diri manusia
terdapat dua jenis agresi (upaya bertahan), yaitu sebagai berikut.
a. Desakan untuk melawan yang telah
terprogram secara filogenetik sewaktu kepentingan hayatinya terancam. Hal ini
dimaksudkan untuk mempertahankan hidup individu yang bersifat adaptif biologis
dan hanya muncul apabila ada niat jahat. Misalnya si A melakukan pencurian
karena adanya desakan kebutuhan ekonomi, seperti makan.
b. Agresi jahat melawan kekejaman,
kekerasan, dan kedestruktifan ini merupakan ciri manusia, di mana agresi tidak
terprogram secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif biologis, tidak
memiliki tujuan, serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu belaka.
Misalnya aksi kerusuhan yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu
telah belajar mengenai konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Dapatkah kamu membedakan kedua hal tersebut?
2.
MUSLIM
pengertian Muslim Menurut
Para Ahli Agama Islam, Muslim adalah secara harfiah berarti
“seseorang yang berserah diri (kepada Allah)”, termasuk segala makhluk yang ada
di langit dan bumi. Kata muslim kini merujuk kepada penganut agama Islam saja,
kemudian pemeluk pria disebut dengan Muslimin dan pemeluk wanita disebut
Muslimah adalah sebutan untuk wanita Islam.
Al Qur’an
menjelaskan tentang semua nabi dan rasul adalah sebagai Muslim, dari Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Al Qur’an menyatakan bahwa mereka adalah
Muslim karena mereka hanya berserah diri kepada Tuhan, memberikan firman, dan
menegakkan agama Allah. Demikian pula dalam surah Al-Imran dalam Al-Qur’an,
“ Para
hawariyyin (sahabat-sahabat setia) berkata kepada Isa: “Kamilah
penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Al-Imran 3:52)
”
Umat Muslim meyakini bahwa Allah adalah zat kekal, yang memiliki semua
sifat ke-Maha-an, tidak tertandingi, mandiri, tidak melahirkan, dan tidak pula
diperanakkan, mereka meyakini doktrin atau aqidah ketauhidan (monoteisme).
3. AKIDAH
A.
Pengertian Akidah Akhlak
Menurut bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu
[عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقْدً] artinya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian.
Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah urusan-urusan yang
harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta
terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh
badai subhat (keragu-raguan). Dalam definisi yang lain disebutkan
bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya, yang
membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan
yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa
aqidah adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang
muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang wajib dipegangi oleh setiap
muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [خلق]
jamaknya [أخلاق] yang artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak,
moral atau budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat
diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah
melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah
laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal
dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah,
atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu
berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela
atau akhlakul madzmumah.
B.
Dasar Akidah Akhlak
Dasar aqidah akhlak adalah ajaran Islam itu sendiri yang merupakan
sumber-sumber hukum dalam Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Al Qur’an dan Al
Hadits adalah pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran
baik buruknya suatu perbuatan manusia. Dasar aqidah akhlak yang pertama dan
utama adalah Al Qur’an dan. Ketika ditanya tentang aqidah akhlak Nabi Muhammad
SAW, Siti Aisyah berkata.” Dasar aqidah akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al
Qur’an.”
Islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut dikatakan dalam Al Qur’an.
Karena Al Qur’an merupakan firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini oleh
setiap muslim.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 15-16 disebutkan yang artinya “Sesungguhnya
telah datang kepadamu rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi
Al-Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahayadari Allah dan kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan izinNya, dan menunjuki meraka ke jalan yang lurus.”
Dasar aqidah akhlak yang kedua bagi seorang muslim adalah AlHadits atau
Sunnah Rasul. Untuk memahami Al Qur’an lebih terinci, umat Islam
diperintahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena perilaku
Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh
setiap umat Islam (orang muslim).
C.
Tujuan Akidah Akhlak
Orang yang mempelajari suatu ilmu, pasti mempunyai
tujuan. Demikian juga halnya dengan orang yang mempelajari akidah Islam. Adapun tujuan mempelajari akidah Islam antara lain sebagai
berikut ;
1. Agar mendapatkan tuntunan untuk mengembangkan dasar
ketuhanan yangtelah ada sejak lahir.
Manusia adalah
makhluk yang berketuhanan. Sejak dilahirkan manusia cenderung mengakui adanya
Tuhan.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? “. Mereka menjawab : “ Betul (Engkau Tuhan
kami),kami jadi saksi “. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan : “ Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang yanga lengah
terhadap ini (keesaan Allah). Atau agar kamu tidak mengatakan : “ Sesungguhnya
orang –orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami
adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engakau
akan membinasakan kami karena perbuatan-perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”. (QS. Al- A’raf / 7 : 172 – 173).
Berdasarkan firman Allah tersebut, dapat dipahami bahwa
tiap-tiap orang telah mengakui dan meyakini adanya dzat Allah, dan pengakauan
serta keyakinan itu telah ada sejak lahir. Untuk mengembangkan dasar ketuhanan
ini, Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada orang tua untuk selalu menjaga
dan mendidiknya dengan baik, agar dasar ketuhanan yang telah ada dapat
berkembang sesuai dengan fitrah Islam.
Rasulullah SAW
bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ. رواه البخاري
Artinya :
“Dari Abu Hurairah
ra berkata, bersabda Rasulullah SAW; “Setiap anak yang dilahirkan pasti dalam
keadaan fitrah (beragama Islam), maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R.
Bukhari)
2. Untuk menghindarkan diri dari pengaruh kehidupan yang sesat
atau jauh dari petunjuk hidup yang benar.
“Dan
sungguh, inilah jalanKu yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti
jalan-jalan (yang lain) yang mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah
Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”.(QS. Al- An’am /6 : 153)
3. Membimbing manusia untuk berkeyakinan
kepada Allah SWT. Tanpa petunjuk agama manusia bisa tidak sampai mengenal Tuhan
dengan benar.
“Al-Quran itu sebagai petunjuk
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan batil)”.(QS. Al- Baqarah /2 :185)
4. Untuk menjaga manusia dari kemusyrikan
Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan dan tetap
mengesakan Allah, diperlukan adanya tuntunan yang jelas tentang kepercayaan
kepada Allah.
“ Dan Tuhanmu adalah Allah yang maha
Esa tidak ada tuhan melainkan Dia, Yang maha Pemurah lagi maha Penyayang”.(QS. Al- Baqarah /2 :
163)
4. Untuk lebih memupuk ketebalan iman dengan mencintai dan
taat kepada Allah dan rasul-Nya.
4.
KEKERASAN
YANG TERJADI PADA MUSLIM ROHIGYA DI TINJAU DARI SISI AKIDAH
TAK berlebihan
bila dikatakan bahwa Muslim Rohingya merupakan Palestina Jilid II untuk wilayah
Asia Tenggara. Sebab, minoritas Rohingya yang bermukim di utara Arakan,
tepatnya di negara bagian Rakhine, Myanmar, selalu mengalami penindasan dan
diskriminasi. Bahkan, sudah ribuan kaum Muslim meninggal dunia akibat
kebrutalan mayoritas Budha yang didukung junta militer Myanmar.
Pada tahun
1978 dan 1991, pihak militer Myanmar meluncurkan operasi khusus melenyapkan
pimpinan umat Islam di Arakan sehingga memicu eksodus kaum Rohingya ke
Bangladesh. Junta militer Myanmar yang dikenal sebagai State Law and Order
Restoration Council (SLORC) selalu berusaha memicu adanya konflik rasial dan
agama. Tujuannya untuk memecah-belah populasi sehingga rezim tersebut tetap
bisa menguasai ranah politik dan ekonomi. (Humaidi, Derita Minoritas Muslim di
Sejumlah Negara, 2012).
Pada tahun
2010 ketika Thein Sein berkuasa, pemerintah junta militer menuju transformasi
demokrasi, dan menjadikan Myanmar sebagai negara yang dipimpin sipil. Sistem
perpolitikan dan ekonomi semakin terbuka. Pembatasan pers pun semakin longgar.
Hanya etnis Rohingya yang tidak merasakan perubahan dari keterbukaan Myanmar
ini, mereka masih tetap terpinggirkan, miskin dan terlantar.
Setelah
konflik yang terjadi antara muslim Rohingya dan Budha Rakine di Juni 2012 lalu,
hingga sekarang, kehidupan muslim Rohingya dalam kondisi rusuh dan kritis.
Mereka diteror, dianiaya, bahkan dibunuh oleh militer. Mereka dipaksa meninggalkan
Myanmar, mengarungi lautan hanya menggunakan perahu kayu, dengan sedikit bekal,
dan seringkali mesin perahu rusak sehingga mereka terombang-ambing di lautan
yang ganas. Dan ratusan ribu orang mati tenggelam dalam perjalanan. (Ratu Erma
R, hizbut-tahrir.or.id, 21/5/2015)
Kini
diperkirakan 7.000-8.000 pengungsi Rohingya terombang-ambing di Laut Andaman
dan Selat Malaka. Mereka kelaparan karena ditolak masuk ke Indonesia, Malaysia,
dan Thailand.Sampai-sampai Badan pengungsi PBB (UNHCR) sebagaimana dilaporkanChannel
News Asia, menyebut pemerintah negara-negara ASEAN tengah bermain-main dengan
nyawa orang. (nasional.tempo.co, 15/5/2015).Tindakan tak bernurani pun
ditunjukan pemerintah Indonesia, yakni dengan berupaya mencari cara memulangkan
ratusan pengungsi Rohingya yang sudah terlanjur terdampar di Aceh, hal ini
sebagaimana dinyatakan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi. (nasional.tempo.co, 19/5/2015).
Akibat Nasionalisme
Kondisi
ditolaknya pengungsi muslim Rohingya oleh Malaysia dan Indonesia, serta upaya
pemulangan kembali pengungsi tersebut, telah membuka wajahasli nasionalisme
pada kita semua.Menurut Hans Kohn, Nasionalisme diartikan sebagai “keadaan pada
individu yang dalam pikirannya merasa bahwa pengabdian paling tinggi adalah
untuk bangsa dan tanah air”. (Ismail Yusanto, 2007).
Karena itu
akibat nasionalisme ini, egoisme sektoral dan teritorial menjadi sebuah
kepentingan tertinggi diatas segala-galanya. Hanya karena pengungsi Rohingya
bukan asli penduduk Malaysia dan Indonesia –padahal masih sama-sama muslim–,
mereka ditolak dan dibiarkan terkatung-katung dilautan. Inilah buah
nasionalisme yang diterapkan oleh sebuah negara bernama nation-state (negara
bangsa), yang menjadikan kepentingan nasional di atas segalanya, bahkan diatas
ukhuwah Islam, serta menghilangkan kepedulian terhadap umat, memecah-belah dan
memperlemah umat.
Absurdsitas Nation
State dan Nasionalisme
Perlu
diketahui umat Islam, bahwa dari segi teori,nation-state (negara bangsa)dan
nasionalisme memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
Pertama,
sebagai dasar nation-state, nasionalisme merupakan ide yang paling lemah secara
intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam Political Ideology Today (1993).
Maknanya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan
didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir jernih dan
rasional.
Sebab
itulah, nasionalisme membutuhkan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa
simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu
kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional,
peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga dll), rekayasa
sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan
sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dll. (Adams, 2004:
143).
Kedua,
pengertian nation (bangsa) –sebagai dasar konsep nation-state– tidakjelas.
Konsep bangsa sebenarnya lebih sebagai mitos/imajinasi, bukan sebagai realitas
faktual.Ini dapat dibuktikan jika kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu
komunitas menjadi suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab,
kesamaan etnis. Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau
Mesir, kesamaan etnis mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang
terdiri dari multietnis dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas
jawaban kesamaan etnis tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu
etnis, yaitu Melayu, tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa.
Orang suku Papua, di satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang
Indonesia lainnya yang berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin
di Australia yang masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda.
(Shiddiq Al-Jawi, 2014).
Mungkin
akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak
memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa
resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa,
tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu
bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah-belah menjadi banyak negara.
Keruwetan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut
nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan). (Adams, 2004: 144).
Ketiga,
nasionalisme adalah ide kosong yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana
sebuah masyarakat diatur. Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu
dan tempat, nasionalisme ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti
liberalisme, konservatisme, berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang
menjadi penyebab semua perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme
memang tidak mengatakan apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata
Ian Adams, “Ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya
diharapkan dari sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).
Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.(Shiddiq Al-Jawi, 2014).
Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.(Shiddiq Al-Jawi, 2014).
Adapun
pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali nampak dalam ikatan
pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state, ikatan
pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah
akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan bahwa
orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS. Al-Hujurat [49]: 10).
Rasulullah saw. dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang Muslim
adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan
bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586).
Sejalan
dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga menegaskan ketunggalan negara
Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa pun suku dan bangsanya, hanya
boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka, yaitu satu negara Khilafah
saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah. Rasulullah saw. telah
bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
(HR Muslim no. 1853).Terkait dengan ketunggalan Khilafah ini, Abdurrahman
al-Jaziri (w. 1360 H) menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu
Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim
pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik
keduanya sepakat maupun bertentangan. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,
V/416).
Muslim Rohingya Butuh
Khilafah
Sesungguhnnya
berbagai problem umat Islam, termasuk penderitaan muslim Rohingya yang dibantai
keji mayoritas Budha di Myanmar, tidak akan pernah selesai kecuali diselesaikan
oleh umat Islam bersama dengan penguasa muslim yang menerapkan Islam dan
mengumumkan jihad fi sabilillah untuk membantu saudara seimannya. Karena itu
kalau kita mau jujur, menyerahkan masalah ini kepada lembaga internasional
bentukan Barat, justru bukanlah solusi, malah ini bisa dikatakan pengkhianatan
karena berlepas tangan dari urusan umat.
Sebagai
contoh, masalah Palestina masih dalam koridor PBB sejak lima sampai enam puluh
tahun lalu. Dan sampai sekarang masih jalan di tempat, bahkan semakin kompleks.
Dan agresi Israel malah semakin menjadi-jadi.
Di sisi
lain, tragedi muslim Rohingya telah menyingkap kedustaan dan kepalsuan
propaganda Barat. Karena meski mereka menegaskan bahwa muslim Rohingya adalah
kelompok yang menerima perlakukan terburuk di dunia, hanya saja mereka tidak
menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan genosida yang dilakukan terhadap
umat Islam.
Jadi, tidak
ada solusi untuk tragedi ini kecuali dengan mengembalikan Khilafah ala Minhaj
Nubuwah di muka bumi. Dengan Khalifah umat Islam, dia akan melindungi rakyatnya
yang muslim maupun non muslim. Dia akan membela orang yang tertindas di dunia
apapun bangsa dan agama mereka. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw (artinya):
Seorang imam (khalifah) itu laksana perisai, rakyat berperang di belakangnya
dan berlindung dengannya. (HR. Muslim, 3428).
Karena itu
Khilafah merupakan kebutuhan mendesak, dan dunia butuh Khilafah agar bisa
terlepas dari keburukan kapitalisme yang rakus dan kekerasan peradaban barat
yang rusak. Lebih dari itu bahwa tegaknya Khilafah adalah kewajiban terpenting
yang Allah wajibkan kepada umat Islam. Khilafah adalah mahkota kewajiban yang
akan menjamin pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya. Khilafah adalah sumber
kemuliaan, kesatuan dan kemuliaan umat.Bahkan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali
(w. 555 H), menyatakan bahwa keberadaan sebuah kekuasaan yang mampu menjaga
umat Islam, sangatlah urgen: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.Agama
adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan
runtuh dan sesuatu tanpa penjaga pasti akan hilang.” (Al-Iqtishad fi
al-I’tiqad, hlm. 255-256).
Dalam
konteks empat mazhab Ahlus Sunnah, Abdurrahman Al-Jaziri(w. 1360 H) menyebutkan:
Para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad)
rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu, dan bahwa
kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan
syiar-syiar agama dan menolong orang yang tertindas dari kejahatan orang
zhalim.
EmoticonEmoticon