NAMA : NOR EFENDI
Kesan bahwa Burma (Myanmar)
membiarkan pembantaian atas komunitas muslim Rohingya di negara itu, sangat
kuat di masyarakat internasional dan kental dalam persepsi ASEAN.
Pasalnya
rezim militer yang berkuasa di Myanmar terkenal sebagai kelompok pemerintah
yang tidak ragu melakukan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM). Mereka
juga dinilai tidak terbiasa menghormati demokrasi. Sudah begitu, sebelum terjadinya penyerangan kelompok
radikal-rasialis Myanmar terhadap perkampungan muslim Rohingya pada minggu
ketiga Juli 2012, televisi Al Jazeera, telah melaporkan tentang kehidupan
muslim Rohingya.
Komunitas
ini tergolong kelompok minoritas yang tidak pernah dilaporkan tentang bagaimana
suasana kehidupan mereka secara komprehensif. Jumlah mereka hanya sekitar 800
ribu jiwa. Sehingga secara kuantitas dan kualitatif, Rohingya tak punya posisi
tawar sama sekali. Badan Pengungsi
PBB sendiri mencatat, Rohingya merupakan kelompok minoritas yang tertindas di
permukaan bumi. Secara kewarganegaraan, mereka tidak punya status sama sekali (stateless). Dengan status seperti itu, sulit bagi PBB
meminta pertanggung-jawaban Myanmar untuk berbuat sesuatu yang positif bagi
keselamatan warganya.
Rohingya
tidak sama dengan posisi muslim di Mindanao Filipina Selatan. Dimana ada Nur
Misuari, pemimpin gerakan mereka bisa mengundang perhatian aktivis dan pejuang
Islam dari negara-negara anggota OKI (Organisasi Konperensi Islam) untuk
mengulurkan bantuan. Rohingya tidak
sama dengan muslim di Patani, Thaland Selatan, dimana mereka bisa melahirkan
tokoh intelektual seperti Surin Pitsuwan. Surin di masa mahasiswa, merupakan
aktivis pergerakan pro demokrasi. Setelah lulus, ia menjadi pengajar di
universitas terkemuka di Bangkok, kemudian menjadi Menlu Thailand dan lima
tahun lalu menjadi Sekjen ASEAN, berkedudukan di Jakarta.
Singkatnya,
Rohingya tidak punya tokoh kaliber Nur Misuari dan Surin Pitsuwan yang mampu
menarik perhatian dunia internasional. Kalau saja Rohingya punya tokoh seperti
itu, ia bisa menjadi faktor pencipta instabiltas bagi pemerintahan di Manila
dan Bangkok. Setelah itu bakal terjadi negosiasi dan tawar menawar. Dari segi kelahiran, seharusnya Rohingya
merupakan warga negara Burma (Myanmar), berhubung mereka lahir secara
bergenerasi di negara sejuta kuil Buddha itu. Tapi karena mereka memeluk agama
Islam dan perkampungan mereka berada di dekat perbatasan Bangladesh, maka
Myanmar yang mayoritas penduduknya pemeluk Buddha, lebih memandang mereka
sebagai pengungsi dari negara Islam Bangladesh yang mencari penghidupan.
Ditambah
lagi, rata-rata postur tubuh mereka lebih mirip dengan warga Bangladesh,
membuat warga Myanmar tidak merasa punya ikatan emosional dengan masyarakat
Rohingya. Sebagai muslim, masyarakat
Bangladesh sebetulnya lebih patut menerima kehadiran Rohingya. Tetapi nyatanya,
tidak demikian. Bangladesh justru ikut memusuhi Rohingya. Setiap kali kelompok
radikal-rasialis di Myanmar mengusir masyarakat Rohingya, mereka berusaha
menyelamatkan diri ke Bangladesh. Tetapi ironisnya pemerintah Bangladesh,
selalu menutup semua pintu perbatasannya.
Penolakan
Bangladesh bukan tanpa alasan. Negara Islam di Asia Selatan ini, juga merupakan
salah satu negara termiskin di dunia. Dengan status seperti itu, maka kehadiran
Rohingya di Bangladesh akan menjadi beban berat bagi pemerintahan Dakka. Itulah
sebabnya posisi Rohingya ikut terjepit. Posisi mereka selalu terpojok. Lari
kena, tidak lari kena. Sebaliknya
bagi warga Rohingya yang sudah berhasil mengungsi di wilayah Bangladesh, lain
lagi ceriteranya. Mereka akan tetap ditampung sekalipun dalam ruang gerak yang
terbatas. Selanjutnya mereka menjadi sasaran pemerasan oleh oknum-oknum pejabat
pemerintah Bangladesh.
Pemerasan
terhadap kelompok Rohingya dirasakan sangat tidak manusiawi. Sebab menurut TV
Al Jazeera, secara finansial dan ekonomi, mereka merupakan manusia paling
miskin di dunia. Sehingga sejatiya tidak ada yang bisa diperas dari warga
Rohingya. Akibatnya pemerasan yang
dilakukan lebih berbentuk sebuah perbudakan. Praktek perbudakan yang dilakukan
antara lain dengan mendorong wanita Rohingya di pengungsian melakukan
prostitusi, tetapi bayarannya diterima oleh sang muncikari berkewarganegaraan
Bangladesh. Bagi yang cukup
beruntung, mereka bisa terdampar sampai ke Indonesia.
Laporan
TV berbasis di Doha, Qatar, Timur Tengah itu menggambarkan betapa miskinnya
kehidupan komunitas Rohingya. Sehingga untuk membangun pondok tempat berteduh
saja, mereka tidak punya kemampuan. Rumah pengungsian, kalaupun ada dijejali
oleh manusia melebihi kapasitas. Tempat
pengungsian Rohingya disebut Gettho, karena demikian kumuhnya. Padahal gettho
atau kawasan kumuh biasanya hanya ada kota metropolitan. Sehingga bisa
dibayangkan kualitas kehidupan sebuah gettho di sebuah desa miskin. Kesan bahwa pembantaian terhadap muslim
Rohingya sengaja dibiarkan Myanmar terbentuk, karena bukan hanya rezim
totaliter itu yang tidak peduli. Melainkan termasuk pemimpin oposisi Myanmar,
Aung San Syuu Kie. Sikap Aung San yang tidak mau berkomentar saat ditanya
tentang pendirian ataupun solusinya terhadap masalah muslim Rohingya memang
cukup mengejutkan.
Dengan
tanpa jawaban itu pemimpin oposisi ini sepertinya tidak melihat pembantaian
kelompok minoritas di negaranya, merupakan sesuatu yang serius. Padahal tadinya
diperkirakan, isu ini akan dia manfaatkan untuk mengembosi rezim otoriter
dengan cara mamaksimalkan dukungan dan simpati internasional pada porto
folionya. Kalau pemerintah Myanmar
bersikap terkesan membiarkan atau tidak peduli, masih bisa diterima. Sebab
begitulah tabiat sebuah rezim yang totaliter. Sangat jarang sebuah rezim
totaliter mau memberi ruang gerak lebih besar kepada kelompok minoritas. Karena
secara politik, kelompok minoritas Rohingya tidak punya posisi tawar yang kuat
terhadap pemerintah yang berkuasa di Yangoon.
Tetapi
dengan “bersatunya” pemerintah Myanmar dan kelompok oposisi dalam menghadapi
isu muslim Rohingya, membuat dunia internasional berpandangan negara yang
mayoritas penduduknya pemeluk agama Buddha itu, telah bersikap primordialis. Yang mungkin tidak disadari Myanmar,
sikapnya yang terkesan membiarkan pembantaian terhadap kelompok muslim
minoritas di negeri itu, telah menggoyang sumbu solidaritas ASEAN.
Disengaja atau
tidak, sikap dingin pemerintah Myanmar itu membuat Indonesia dan Malaysia yang
mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Islam, bakal berpikir ulang. Apa
keuntungan yang bisa dipetik Indonesia dan Malaysia dari sahabat seperti
Myanmar? Buat apa Indonesia dan
Malaysia merangkul Myanmar supaya menjadi keluarga ASEAN. Untuk apa ASEAN
menjadi mediator dengan PBB agar Myanmar tidak terkena sanksi embargo yang
lebih besar? Sebuah episode baru sedang hadir sebagai problematika ASEAN.
Hasil
Kunjungan FPKS Bahas Rohingya ke Myanmar
Sementara
itu, misi diplomasi internasional untuk mengusut dan menyelesaikan kasus
tersebut secara tuntas dan komprehensif terus diupayakan berbagai pihak,
diantaranya oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI, FPKS DPR RI
akan terus memperjuangkan bantuan bagi etnik Muslim Rohingya di Myanmar. FPKS
memiliki misi agar demokratisasi yang mulai diberlakukan di Myanmar dapat terus
dipraktekkan.
“Dengan
cara itu maka akan menghadirkan parlemen komitmen dengan penegakkan hukum dan
penghormatan HAM, berlaku adil dan tidak diskriminatif terhadap sesama warga
bangsa/rakyat di negara tersebut.”Kata Ketua Rombongan Delegasi FPKS DPR ke
Myanmar, Hidayat Nur Wahid lewat pernyataan tertulis, Senin (27/8/12). FPKS sendiri mengirim tujuh orang
delegasinya ke Myanmar pada 21-26 Agustus lalu. Mereka menggelar dialog dengan
Pemerintah, DPR dan DPD Myanmar serta perwakilan masyarakat etnik muslim
Rohingya dan organisasi masyarakat muslim Myanmar.
Menurut
Hidayat, dengan berjalannya misi fraksinya maka akar masalah konflik di Arakan
atau Rakhine soal status kewarganegaraan bisa dicari solusinya. “PKS meyakini misi ini dapat mendorong
pemerintah dan parlemen menjadi lokomotif transformasi demokrasi yang kini
berlangsung di Myanmar,” ujar Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V
ini.
FPKS mengapresiasi
pembentukan tim pencari fakta kasus Rohingya. Diinformasikan kepada delegasi
PKS, tim tersebut beranggotakan 27 orang dan enam diantaranya adalah warga
negara muslim.
“Ini baik sekali
sebagai awal dari penyelesaian menyeluruh atas konflik horizontal yang terjadi
disana,”Ujar Hidayat.
Hidayat mengatakan,
Myanmar sendiri pernah mengakui etnik muslim Rohingya sebagai warga negara. Hal
itu terjadi di masa pemerintahan Jenderal Aung San, ayah dari tokoh demokrasi
Myanmar saat ini, Aung San Suu Kyi. Saat itu Myanmar juga adalah negeri yang
memiliki posisi terhormat di mata dunia.
Sementara itu
Parlemen Myanmar mengapresiasi kunjungan FPKS DPR dan sepakat dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan wakil dari pimpinan parlemen Myanmar
menyatakan jaminannya bahwa masalah ini akan diselesaikan secepatnya.
Menteri Sosial
Myanmar U Aung Kyi, juga menghargai upaya diplomatik FPKS dan menyatakan siap
untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi korban konflik baik dari pihak etnik
muslim maupun warga negara dari etnik atau agama Budha.
Dari dialog intensif
dengan beragam institusi tersebut, FPKS semakin memahami akar konflik
kemanusiaan yang dialami etnik muslim Rohingya yaitu intoleransi perbedaan
etnik, sejarah, agama termasuk kinerja pemerintah pusat maupun lokal.
Hal positif yang
didapatkan dari kunjungan resmi delegasi FPKS DPR diantaranya adalah pemerintah
maupun parlemen Myanmar menyepakati bahwa berbagai permasalahan HAM di setiap
negara dapat mempengaruhi keseimbangan hubungan regional (ASEAN) maupun
internasional. Pemerintah Myanmar sepakat akan membuka akses atas bantuan
lembaga internasional kepada korban kemanusiaan dalam konflik di Rakhine, baik
dari pihak etnik muslim Rohingya maupun korban warga Budha.
Sementara itu,
dengan ormas Islam dan partai politik yang didirikan oleh etnik Rohingya.
Hidayat mendapatkan penegasan, bahwa kaum muslimin di Rakhine tidak punya niat
sedikitpun ingin memerdekakan diri dari Myanmar. “Mereka ingin menjadi warga
negara Myanmar seutuhnya dengan segala hak dan kewajiban, yang dilindung oleh
konstitusi dasar negara,” jelas Hidayat.
Artikel terkait: Kisah Dan Foto
Pembantaian Muslim Di Burma, Myanmar – Muslim Rohingya,Pembantaian atas Muslim Myanmar Kian Menggila! Ulurkan Bantuan,
Ayo Bergerak Serempak! ,Muslim Rohingya,
Bersabarlah!, Pembantaian Ummat Muslim
Rohingya Merupakan Pelanggaran HAM,PROSES INTEGRASI
KOMUNITAS ASEAN 2015
EmoticonEmoticon